SITE STATUS
Jumlah Member :
253.407 member
user online :
2074 member
pageview's per day :
Over 100.000(!) page views
Kalkulator kesuburan
Masukan tanggal hari pertama bunda mengalami menstruasi

Blog -- Indahnya Memaafkan*



Blog posted by

Indahnya Memaafkan*


Blog posted on 25-04-2009
Indahnya Memaafkan*



“Tidak, Bu! Aku pilih surga saja…”

Tidak seperti kebanyakan anak sebayanya, Yahya, anak lelakiku satu satunya, tidak begitu mementingkan dirinya sendiri. Setiap kali suamiku membawa oleh - oleh sepulang kerja, ia selalu memikirkan bagian untuk kakak dan adik - adiknya. Ketika aku tawari dia tas sekolah yang baru, karena tas lamanya sudah usang, ia menjawab, “Tidak usah, Bu! Ini masih bisa digunakan kok!”

Usianya baru menginjak 6 tahun. Terlalu muda untuk bisa mengerti bahwa penghasilan orang tuanya terlalu sedikit untuk bisa membelikan robot yang bisa dikendalikan dengan remote control, mainan yang senantiasa hanya ia lihat ketika aku ajak ia ke toko mainan. Ketika sudah puas ia memandangi dan membolak balik robot yang masih berada dlm kotak itu, ia pun mengambil robot lain yang lebih kecil dan menyodorkannya kepadaku,

"Beli yang ini saja, ya Bu! Yang itu kan mahal…!”

Sungguh, trenyuh hati ini melihat sikapnya yang begitu “menerima apa adanya”.

Tetapi kadang kepolosan dan sikap solidaritasnya membuat aku geli juga. Suatu ketika, ia mengajak sejumlah teman - temannya, setelah lelah bermain sepak bola di tanah kosong depan rumah Pak Mukib, untuk masuk rumah Nabila. Keluarga kami sangat akrab dengan keluarga Pak Riza. Nabila adalah anak tunggal Pak Riza dan Bu Tini. Ia sangat dekat dengan anak - anak kami, bahkan mereka sudah seperti saudara sendiri. Yahya sudah seperti berada di rumahnya sendiri ketika ia berada di rumah Nabila. Merasa seperti rumah sendiri, ia mempersilakan kawan - kawannya masuk rumah Nabila, membukakan kulkas dan menyilakan mereka mengambil minuman dan buah - buahan yang ada di dalamnya, seolah - olah semuanya itu adalah miliknya. Untung saja Pak Riza dan Bu Tini memiliki prinsip hidup yang mirip dengan keluarga kami: makanan ada memang untuk dimakan; bukan untuk disimpan dan dibuang setelah kadaluarsa.

Seperti biasa, pagi itu aku sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk suami dan anak - anakku. Dan seperti biasa pula, masing - masing tergesa - gesa dengan persiapannya sendiri - sendiri. Tiba - tiba, dug! Ada benda keras menabrak punggungku ketika aku sedang duduk di lantai dapur. Ternyata lutut Yahya menabrak punggungku. Aku yang baru sebulan lalu keluar dari rumah sakit karena harus terapi sakit pinggang, meringis menahan sakit.

Secara reflek, aku cubit tangan Yahya sambil memarahinya,

“Mbok ya kalau jalan lihat - lihat to, Le!”

“Maafkan aku, Bu! Aku tidak sengaja!” jawabnya sambil memegangi tangannya yang baru saja aku cubit. Matanya berkaca kaca.

“Ya sudah. Lain kali kalau jalan lihat lihat!” ujarku mengulangi pesan.

Sore harinya, giliran aku yang secara tidak sengaja menyakiti Yahya. Tangan kananku mengenai mukanya ketika aku berjalan melewatinya yang sedang duduk di depan televisi. Ia tidak menangis, meskipun pasti ia menahan sakit.

Segera aku berkata,

“Aduh, maafkan aku Le, Ibu tidak sengaja!”

Mata kanannya berkaca kaca. Tangannya memegangi mukanya, menutupi matanya sebelah kiri. Ketika kusingkap tangannya, kulihat matanya memerah. Aku bisa merasakan sakitnya. Terlebih karena kejadian pagi tadi. Aku mengulangi lagi permintaan maafku,

“Ibu minta maaf, betul, ibu tidak sengaja!”

Ia bergeming

“Sudah, ini tangan ibu, silakan dibalas, boleh kamu pukul atau kamu cubit, terserah kamu; sebagai tebusan atas kesalahan Ibu.” Aku sodorkan tanganku kepadanya.

Ia terdiam, dan perlahan mengalir air mata di pipinya.
Aku terus mendesak,

“Ayo, silakan balas kesalahan Ibu, Le!”

Ia menggelengkan kepala. Aku terus mendesaknya. Ia tetap menggelengkan kepala, kemudian berkata,

“Tidak, Bu! Aku pilih surga saja. Kata ustadzah, kalau kita memafkan, Allah akan ganti dengan surga…!”

Seketika itu pula aku peluk erat erat Yahya. Takjub, malu, gembira, trenyuh, sesal, dan sejuta rasa yang lain bercampur aduk dalam dadaku saat itu. Tak terbendung bah air mata meluap dari kedua mataku. Terus kepeluk erat - erat anakku.

“Maafkan ibu atas kejadian tadi pagi, Le! Ibu bangga punya anak seperti kamu. Sungguh!”

Pembaca budiman, kerasnya kehidupan membuat kita sibuk bergulat dengan kebutuhan dan kepentingan diri sendiri. Ketidakadilan membuat kita merasa menjadi pahlawan ketika kita memperjuangkan hak - hak kita dan hak - hak orang orang yang kita cintai. Hutang emas dibayar emas, hutang nyawa dibayar nyawa. Begitulah prinsip keadilan yang kita junjung tinggi. Saking tinginya prinsip itu kita junjung, kadang bisa melupakan kita dari nilai - nilai luhur yang bisa mengangkat derajat kita sebagai manusia di dunia dan di akhirat kelak: memaafkan kesalahan orang lain.

“Tidak, Bu! Aku pilih surga saja…!”



Terima kasih, Tuhan! telah Kau kirim pesan itu lewat anakku.



*Diceritakan kembali oleh R. Fathoni, sebagaimana dituturkan oleh seorang ibu rumah tangga di Kartasura, Solo, Jawa Tengah.


Ditampilkan sebanyak : 738

Comment by:
bunda..ceritanya menginspirasi sekali...jadi teringat sama anak lanangku yg jg umur 6 tahunan....bunda aku minta ijin yaa copy kedalam blogku, supaya teman2ku juga bisa mengambil hikmah dr cerita ini...thanks
Dikirim : 2009-04-26

Tolong beritahu kami apa pendapat Anda tentang blog ini


Jika Anda tidak melihat kotak komentar silahkan refresh halaman
 
cusna's blog :